Menurut M Chatib Basri Pengamat Ekonomi, di musim dingin yang basah, 13 Desember 1935, ekonom John Maynard Keynes menulis pada pengantar buku The General Theory of Employment, Interest and Money, yang paling sulit bukanlah melahirkan ide baru, tetapi bagaimana meninggalkan ide lama, yang telah menguasai setiap sudut benak kita.
Kalimat yang ditulis lebih dari 70 tahun lalu itu masih terasa kebenarannya hari ini ketika dunia yang cemas bicara mengenai krisis keuangan global. Ekonom—anggota kelompok Bloomsbury yang amat mencintai sastra dan lukisan ini—kembali dirujuk. Robert Skidelsky—penulis biografi Keynes yang termasyhur—bahkan menulis risalah ”Why John Maynard Keynes is the Man of the Year” dalam majalah New York Times, Desember 2008.
Krisis keuangan global membawa kembali ingatan ke depresi besar pada 1930-an. Dan, menurut Keynes, yang harus dilakukan adalah kebijakan yang bersifat kontrasiklus. Di banyak negara, termasuk Indonesia, bank sentral mulai menurunkan tingkat bunga dan pemerintah berbicara tentang stimulus fiskal.
Mengapa perlu stimulus fiskal? Prediksi ekonomi Indonesia 2009 barangkali tak terlalu buruk dibandingkan negara lain. Awal minggu lalu, dalam sebuah konferensi di Singapura, saya membahas regional outlook. Konsensus yang ada, yakni ekonomi Indonesia mungkin masih bisa tumbuh sekitar 4.5 persen, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Lebih tinggi dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Tapi jangan lengah. Pertumbuhan ekspor mulai melambat.
Bulan Oktober ke November ekspor nonmigas mengalami pertumbuhan minus 9,2 persen. Dampak dari krisis keuangan global melalui trade channel tampaknya mulai terlihat. Sektor yang berorientasi ekspor, atau yang memiliki ketergantungan besar terhadap impor, akan tertekan.
Pasar domestiklah yang akan menolong. Di sini peran dari konsumsi rumah tangga menjadi krusial. Tengok hitung-hitungan sederhana ini, yaitu proporsi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto sekitar 65 persen. Jika konsumsi rumah tangga dapat tumbuh 5 persen, pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga sudah 3,25 persen.
Jika pengeluaran plus investasi pemerintah dapat tumbuh 12-13 persen, maka kontribusi dari konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah saja—tanpa investasi dan ekspor—sudah mencapai 4,5 persen. Itu sebabnya, stimulus fiskal menjadi amat penting.
Di Singapura, ekonom Bradford DeLong dari University of California, Berkeley, mengingatkan, besaran dari stimulus akan sangat berpengaruh. Selain itu, peraih Nobel Ekonomi Paul Krugman juga menulis, stimulus berupa potongan pajak tak efektif untuk masyarakat AS, yang memiliki kecenderungan menabung (marginal propensity to save), dan struktur demografi di mana penduduk usia lanjut relatif besar.
Potongan pajak lebih banyak digunakan untuk menabung, bukan untuk konsumsi. Akibatnya, permintaan agregat tak bergerak. Kita bisa belajar dari sini. Stimulus fiskal harus mampu mendorong konsumsi rumah tangga untuk tumbuh 5 persen.
Berikan stimulus fiskal kepada masyarakat yang memiliki kecenderungan mengonsumsi yang tinggi. Itu artinya, peningkatan pendapatan bagi kelompok menengah bawah.
Jika mereka memperoleh penghasilan dari pekerjaan, dan inflasi terjaga, konsumsi dalam negeri dapat didorong. Di sini program-program seperti cash transfer atau cash for work dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) penting. Demikian juga penciptaan lapangan kerja melalui pembangunan infrastruktur.
Program-program itu banyak dikelola pemerintah pusat sehingga lebih mudah dikendalikan. Meski demikian, kerja sama dengan daerah mutlak dibutuhkan untuk membuat program ini berjalan.
Kebijakan penurunan pajak penghasilan individu dari 35 persen menjadi 30 persen pada kelompok atas sedikit banyak akan meningkatkan konsumsi.
Upaya pemerintah mengendalikan daya beli dengan menjaga harga kebutuhan pokok dan menurunkan harga BBM jelas membantu mendorong konsumsi rumah tangga. Dengan ini permintaan akan meningkat, ekonomi kembali bergerak.
Stimulus industri
Adapun stimulus untuk industri bisa saja, tetapi proporsinya mungkin tak sebesar stimulus untuk meningkatkan daya beli. Jika fokus stimulus diberikan kepada industri (sisi suplai), mungkin benar produksi akan meningkat, tenaga kerja terserap. Tetapi jika tak ada yang membeli—karena daya beli lemah—perusahaan akhirnya akan merugi, PHK akan terjadi.
Itulah salah satu kritik Keynes terpenting terhadap hukum Say, yang percaya suplai akan menciptakan permintaan.
Stimulus industri adalah stimulus pada produksi atau suplai. Keynes menunjukkan di dalam masa resesi—di dalam jangka pendek—hukum Say tak berjalan. Yang dibutuhkan adalah mendorong permintaan. Tak hanya itu, stimulus dengan pemilihan industri berpotensi menciptakan ekonomi rente.
Untuk mendorong industri, yang perlu dijaga adalah jalur kredit. Kredit memungkinkan industri menjalankan produksinya. Tentu, kita tak boleh melupakan aspek terpenting, yakni pembiayaan anggaran. Dalam kondisi perekonomian melambat, dan harga komoditas turun, bukan tidak mungkin penerimaan pemerintah juga melambat hingga defisit membesar.
Pemilihan prioritas stimulus dan pembiayaannya jadi penting. Inilah yang akan membuat stimulus menjadi efektif, seperti yang ditulis Keynes lebih dari 70 tahun lalu.
Menurut pendapat saya, di era krisis global saat ini pemerintah Indonesia harus berhati - hati dalam mengambil sebuah kebijakan ekonomi. Pemerintah harus memikirkan semua dampak yang akan terjadi apabila suatu kebijakan telah diambil.Tetapi, kita tetap harus bersyukur karena dalam sebuah konferensi di Singapura, ekonomi Indonesia masih mungkin dapat tumbuh sekitar 4.5 %, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Namun, kita jangan sampai lengah dengan peristiwa ini. Kita harus tetap waspada agar ekonomi Indonesia dapat tetap tumbuh dengan signifikan.
Setiap sikap yang diambil pemerintah harus dipikirkan baik - baik agar tidak memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/12/00131797/keynes.dan.stimulus.ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar